NEWSTICKER

Kegagalan Sistem Akut

N/A • 29 April 2023 08:20

Benar rasanya kasus harta tidak wajar pejabat yang terungkap ke publik hanyalah puncak gunung es. Buktinya, tidak hanya di jajaran Kementerian Keuangan, beberapa pejabat di instansi lainnya pun ditemukan fenomena serupa. 

Publik kembali dibuat melongo dengan adanya perwira menengah Polri yang memiliki harta kekayaan fantastis. Harta kekayaan fantastis yang tergolong ”tidak wajar". Tidak wajar karena jauh berbeda dengan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN), serta tidak sesuai profil.

Berawal dari aksi kekerasan anaknya, AKBP Achiruddin pun menjadi sorotan karena kerap pamer gaya hidup mewah. Di media sosial Instagramnya, Achiruddin Hasibuan sering mengunggah kendaraan mewah Harley-Davidson dan mobil Rubicon. 

Tetapi, kendaraan bernilai miliaran rupiah itu tidak tercantum dalam LHKPN. Ia juga kerap kali mengunggah foto rumah kediaman pribadinya yang luas.

Yang paling fantastis yakni transaksi rekening Achiruddin dan anaknya bernilai puluhan miliar. Jumlah yang jelas-jelas tidak sesuai dengan profilnya sebagai perwira menengah berpangkat ajun komisaris besar polisi (AKBP) di lingkungan Korps Bhayangkara.

Fakta tersebut membuat Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh bekas Kabag Bin Ops Direktorat Narkoba Polda Sumut tersebut. Kini rekening Achiruddin dan anaknya telah diblokir.

Namun nalar publik tentu tidak berhenti di Achirudin. Jika Pamen di daerah saja bisa punya harta tidak wajar yang fantastis, bagaimana dengan perwira dengan pangkat lebih tinggi?

Tentu beban pembuktian atas persepsi publik tersebut harus dijawab oleh Polri. Belum lekang rasanya kasus mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan Mantan Kapolda Sumbar Teddy Minahasa membuat kepercayaan publik melorot, kini dihadapkan pada urusan harta tidak wajar anggota.

Fenomena harta tidak wajar pejabat negara mesti segara diberantas. Kebijakan mendasar harus segera diambil oleh Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan pemerintahan. Pasalnya kejahatan semacam ini telah terjadi di banyak instansi. Jadi bukan lagi persoalan teknis pengawasan internal di masing-masing intansi.

Saat ini, negara dengan semua sistem penegakan hukumnya yang dimotori Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi seakan tidak mampu untuk membabat praktik culas pejabat. Justru publik dengan beramai-ramai lebih gesit menguliti gaya hedonis pejabat hingga menjadi viral.

Begitupun LHKPN hanya sekedar syarat administrasi tanpa mampu jadi senjata ampuh dalam sistem pemberantasan korupsi. Buktinya banyak pejabat melaporkan LHKPN penuh dengan rekayasa tanpa diketahui oleh KPK.

Lemahnya pengawasan dan evaluasi terhadap laporan LHKPN ini secara tidak langsung pernah diafirmasi oleh Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang meminta bantuan netizen dan media massa untuk menelusuri dan mengungkap kekayaan tidak wajar para pejabat negara. 

Pernyataan yang menunjukkan bahwa KPK sekalipun tidak mampu menjalankan tugasnya dengan benar untuk bisa membuktikan pendapatan para pejabat sesuai dengan profilnya.

Negara ini ibarat mengalami kegagalan sistem akut. Mengandalkan pemberantasan korupsi pada teriakan publik. Ketika publik teriak, aparat negara bergegas seperti pemadam kebakaran. Ketika publik lelah dan diam, upaya pemberantasan ikut loyo.

Untuk itulah, RUU Perampasan Aset yang juga akan mengatur konsep pembuktian terbalik (illicit enrichment) harus segara dituntaskan. Beleid yang dipersepsikan akan ampuh mencegah praktik lancung amtenar macam Rafael Alun Trisambodo (pejabat pajak) dan Achiruddin.

Bola legislasi kini berada di tangan Presiden Joko Widodo untuk menyerahkannya ke dewan perwakilan rakyat untuk dibahas bersama. Sebab jika dibiarkan tanpa beleid hukum, siasat licik pencucian uang akan terus dimanfaatkan para birokrat korup.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Metrotvnews.com

(Dwiki Feriyansyah)

Tag